Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2012

Hikayat Guru, Ilmu, dan Murid

Seorang guru dengan leluasanya menggemakan bijak di daun-daun telinga para mantan muridnya yang jenaka, "Penabur ilmu ada di sekeliling kita, Nak. Namun mereka memilih terperam. Tak jadi penghulu khutbah kelas tengah hari." Aku melihat cermin hati itu berkilat, berkaca-kaca. Namun, itu bukan lara. Dengan sigap, sang guru merengkuh para muridnya sedalam dekaman samudra pada bayang rembulan. "Di suatu perjalanan mengarungi ilmu, terkadang yang tidak kita tuju lebih pasang dari tujuan itu sendiri." Para murid diam. Sedikit angguk-angguk mengerti. Tapi, hati itu kian bertanya. Seandainya silam dapat balik rekam, apakah semuanya dapat lebih dalam dari sekarang? Entahlah. Pertanyaan itu menguar bersama lambaian gemerisik pepohonan sisi lapangan itu. Ah, cinta.

dalam seduhan kopi

Seduh dan tegak secangkir kopi. Temaniku malam ini.. Sejenak.. Hingga kenangan tentang pagi menyembur, menyentak, dan menciumi detik waktu yang berdetak dalam jiwaku.. Diam, dan saksikanlah.. Gema panggilan ibu menggerayang di tanah. Membaui rerumputan yang bernoktah basah.. Published with Blogger-droid v2.0.4

KAU INI BAGAIMANA ATAU AKU HARUS BAGAIMANA (K.H. Musthafa Bisri)

KAU INI BAGAIMANA ATAU AKU HARUS BAGAIMANA Kau ini bagaimana? Kau bilang Aku merdeka, Kau memilihkan untukku segalanya Kau suruh Aku berpikir, Aku berpikir Kau tuduh Aku kapir Aku harus bagaimana? Kau bilang bergeraklah, Aku bergerak Kau curigai Kau bilang jangan banyak tingkah, Aku diam saja Kau waspadai Kau ini bagaimana? Kau suruh Aku pegang prinsip, Aku memegang prinsip Kau tuduh Aku kaku Kau suruh Aku toleran Kau bilang Aku plin-plan

Aurora

Gambar
Sumber : www.google.com

Pepohonan Musim Gugur

Gambar
Pepohonan Musim Gugur Aku mendengarkan sebuah bisikan hati yang teramat halus menelusup ketika melihat gambar ini muncul dalam jajaran foto-foto internet. Andai kautahu betapa tiba-tiba air mata ini hendak mengalir dari tempat semestinya ia tertanam dan tenang. Manik mataku merasakan akan hadirnya setetes titisan itu. Sebab yang irrasional dari seorang perempuan biasa. Tahukah kau... Saat kusaksikan gambar ini aku membayangkan betapa sepi dan sendirinya jalan yang kini aku tempuh. Suatu jalan yang sangat sepi dan jarang ada orang yang mengambilnya. Lalu, aku pertanyakan, mengapa aku mengambil jalan ini? Jawabannya adalah Sang Pemilik Semesta menginginkanku di jalan ini. Dan aku berharap Dia tetap menginginkanku di jalan ini... Selamanya... Surat Ibrahim berqari’kan Misyari Rasyid yang kusetel dalam untaian murottal yang mulai menggantikan barisan lagu-lagu menambah barisan tapak tilas masa lalu mengalir deras bak sungai yang berada pada hulu. Air itu mengalir deras dan

25-6-2012

25-6-2012 Aku menjajakan waktu sejenak untuk mendeklarasikan diriku. Menunaikan hak orang lain atas diriku dengan mengagendakan silahturahim hari ini. Segera saja semua jadwal sudah aku susun dengan -insya Allah- rapi. Aku segera menjemur pakaian yang berserakan. Lalu kuselesaikan agenda mengepel lantai dan menggosok pakaian yang hampir satu minggu kubiarkan menumpuk di atas kursi merah yang kusam itu. Sebentar lagi... Begitu bisikku. Dan ternyata, tetap saja waktu harus mengejar-ngejarku. Subhanallah... Seandainya orang-orang yang tahu betapa waktu mereka yang luang itu sangat berharga. Maka aku berlari-lari mengepel lantai yang menjadi agenda terakhir. Dan aku lupa membereskan kamarku yang sedari pagi aku tinggalkan dalam keadaan berantakan dan tidak aku urusi. Aku terlambat sampai di kampus. Dan perasaanku sempat kesal karena birokrasi fakultas. Urusanku tidak selesai. Astaghfirullah... Segera aku beristighfar. Pasti ada manfaatnya, Prima... Jangan anggap sia-sia. Aku

Hidup dalam Bingkai Perjalanan

Berjalan menelusuri kota Bandar Lampung. Gila, katamu. Saat kautahu kususuri jalanan lurus antara DCC menuju Teknokrat. Ah, tidak. Tidak gila. Hanya saja kurang waras. Toh kau pun tak pernah tahu jalanan apa saja yang sudah kususuri. Sengaja kuuji kapasitas diri. Telah lama aku meninggalkan olahraga, bukan? Aku anggap ini bagai masa lalu bias. Ini jalan sehat. Waktu menunjukkan pukul 08.56 WIB dan aku mereka-reka kapankah aku sampai di Teknokrat. Di setiap jalan dan simpang begitu cerdas nafsu menggoda. Ditambah gegar gema kendaraan bermotor di kiri tubuhku. Seberapa tahan aku sublim? Bertahan dalam keheningan di tengah keramaian? Sedikit bercerita. Aku selalu gagal menuliskan frasa di waktu siang dan sore. Kata mereka, memang demikian. Namun, aku bersikeras berkata kurang latihan. Ternyata menjadi seorang pejalan kaki masih merupakan suatu anugrah untukku dalam bentuk lain. Aku menyaksikan lolongan bangunan tua menolak modernisasi. Aku juga melihat para pengendara yang ind

Bunga di Padang Gersang

Kau tak perlu berbalik. Karena kini aku telah bersembunyi di balik rupa perdu. Aku melihatmu bersedekap. Membalur dirimu dengan tingkap. Aku hampir berjingkat ke arahmu. Namun aku tahu, kau adalah hasil alam yang paling suram. Biarkan aku sejenak menancapkan kembali duri-duri rapuh yang kini terkekalkan. Aku takkan membarternya dengan bersamamu menuju senja. Cahaya dan bayangan selalu menguntit. Tapi tidak satupun dari kita menjadi salah satu daripadanya. Apapun yang terjadi, jangan berpaling. Karena bukit-bukit pasir akan membawaku rapuh ke negeri yang jauh. ... Jangan mencari ...

Surat Cinta untuk Saudariku

Gambar
Surat Cinta untuk Saudariku Belakangan ini, aku terheran-heran dengan diriku sendiri yang seringkali membuat tulisan bertemakan cinta. Namun, bukan. Bukan tentang pertautan lawan jenis. Pertautan lawan jenis mungkin tidak masuk dalam euforia kanal-kanal pikiranku saat ini. Aku mencintai mereka, saudari-saudariku karena Allah. Dan karena itu, sangat kusanjungkan ukhuwah (persaudaraan) diantara kami dengan harapan kekal hingga di surga nanti –insya Allah- dengan doa rabithah (pengikat). Mereka masing-masing adalah makhluk unik nan ajaib yang diciptakan oleh-Nya. Bagaikan belikat bertemu sulbi, sungguh ada saudariku yang sontak menangis melihat saudari-saudarinya yang lain karena cinta itu.

Ketenangan hati

Tersenyum mengingat tausiyah.. "Jika Allah mencintai seorang hamba, ketika hamba tersebut melakukan dosa hatinya tidak akan tenang. Selalu gelisah begitu." Tersindir juga dengan lanjutan tausiyahnya. "Tidak ada siksaan terpedih di dunia bagi ahli maksiat selain ketika melakukan dosa ia merasa tidak berdosa. Lupa begitu dengan adanya pengawasan Allah."

Fatwa Hati

Ahmad bin Al-Hawari mengatakan, "Aku mendengar para guruku mengatakan, 'Apabila di hadapanmu ada dua hal yang engkau tidak tahu mana yang baik dari keduanya maka lihatlah mana yang lebih dekat dengan hawa nafsu kemudian tinggalkanlah, karena kebenaran terletak pada menyelisihi hawa nafsu'." -Hilyatul Auliya' : 10/18-

Kahlil Gibran

"Baru kemarin aku pikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen yang bergerak dalam diriku." -Kahlil Gibran-

Perempuan Samudra

Bertemu sosok perempuan yang hatinya setenang Samudra Hindia tapi dapat menjelma badai seperti Samudra Pasifik dalam sekejap. Setiap gerak-geriknya beriringan dan sulit diterka. Aku suka!

Memorandum Takdir

Takdir akan terjadi sebagaimana mestinya. Tugas manusia adalah membuat perincian terjadinya. Keoptimisan adalah wajib karena Allah telah menabirkannya agar manusia berusaha. Kalau ada yang tidak percaya takdir -salah satu rukun iman- maka bagaimana imannya akan sempurna

Quantum Tarbiyah

Karena kita sudah berjanji... Mau tidak mau, sadar atau tidak, terpaksa atau rela, kita sudah berjanji kepada Allah. Berjanji untuk tunduk kepada aturan-Nya, menjadikan Allah sebagai Rabb kita. Sejak dalam kandungan sesungguhnya manusia telah diminta perjanjian atau transaksi untuk menyembah hanya kepada Allah. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS Al A’raf : 172) #Quantum Tarbiyah, Ustadz Solikhin Abu Izzuddin#

Biar Berlalu

Aku mencumbu kabut senja yang berbau asap. Ya, bukan asap sebenarnya. Jalan berliku dan barisan pepohonan kelapa meraba merah mega yang mulai menyurati hari. Dan langit mulai membiru gelap. Di jalanan yang berdesis usai basah, netraku menangkap sepucuk sabit pucat di langit. "Ah, ternyata sudah memasuki bulan baru." bisikku dalam hati. Dua dayang bersimpuh pinggang lurus dengan Sabit. "Kami berdua adalah mata hatinya." Aku hanya menjawab, "Jangan terlalu yakin, nanti kalian kecewa." Kulepas senyum indahku ke langit. Kusaksikan mereka berdua meragu, mempertanyakan Sabit. Sedangkan aku? Aku memasukkan kunci pada lubang dan membiarkan semuanya berlalu bersama denting adzan

perempuan pagi

menjelma menjadi perempuan pagi

Berani dan Baik

‎"Banyak orang baik, tapi sedikit yang berani." "Banyak yang berbicara, tapi sedikit yang berbuat dan lebih sedikit lagi yang ikhlas." "Bagaimana interaksimu dengan Al-Qur'an? Berapa banyak yang membaca? Berapa banyak yang mentadaburi? Dan berapa banyak yang mengamalkan?" "Mungkin negara ini berpenduduk muslim 80%, tapi berapa yang menjalankan syari'at Allah dengan benar tanpa syirik? Jangan bangga dengan jumlah kita. Jangan-jangan kita merupakan umat yang disebutkan di hadist Rasul, seperti buih di lautan." (tausiyah dari banyak pihak)

Canggih

Manusia sungguh canggih. Kini tak ada teknologi yang tidak dapat merekam tiap kata dan tiap ucapan. Namun itu masih kalah mutakhir dengan ciptaan-Nya yang mampu merekam kesaksian panca indra dan perkataan dalam hati. Tidak malukah jika pada saat dikumpulkan di Padang Mahsyar panca indra dan hati mengumbar maksiat? Ketika rasa malumu pada Allah sirna dan lalai jadi tabiat? Bukankah jika ingin bermaksiat nikmat-nikmat ini milik Allah? Bagaimana jika Dia mengambilnya? Bukankah isi perut ini najis? Mengapa masih sombong kepada-Nya? _kutipan campuran dari buku dan tausiyah_

Berharap

Berharap menjadi apa yang diharapkan... Berharap menjadi wanita dalam imajinasiku itu... Ya, berharap. Seperti beberapa tahun lalu aku berharap menjadi aku yang sekarang...

Gugur di Jalan

Jalan ini begitu sepi, meskipun telah banyak yang mendahului. Beban yang besar akan diberikan pada pundak yang kuat. Jika pundakmu kurang kuat, maka tidak ada cara lain kecuali melatihnya agar kuat. Menjadi yang gugur di jalan ini bukanlah pilihan bijak.

hasrat kecil

Hasrat kecil malam ini : Menciptakan ruangan bebasku sendiri di suatu tempat yang tidak diketahui

dalam angkutan

Kebiasaan sejak datang musim kemarau : Bersandar di pojok angkutan umum sambil menutup mata dan merasakan sinar mentari yang kering dan bersih menerpa wajah. Sementara bias-bias embun di rerumputan bergeling manja. Berbagai daun gugur dengan bermacam tulang daun, warna, dan koyak. Ah, cantik.

Ragu

Mendung dan gerimis tipis di selasar Tanjung Karang seolah berkata pada hatiku pribadi, "Masih ragukah?" Dan jawabanku tergolek bisu seperti pintu yang kokoh, atau teralis jendela yang selalu dingin. Sepi itu purna. Seperti pepohonan Sidr yang bersembunyi dalam hutan. (aku takut buahnya pahit) Seorang nenek bijak keluar dari gubuknya. Dia berkata, "Sampai kapan kamu akan takut? Pepohonan Sidr telah tampak di hadapanmu!" Embun jelma pada dwi mataku. Lalu turun membasahi kejangan daun dalam lantai hutan. Kanopi hutan gemerisik geming menyuarakan kegelisahanku di udara.

Khas

Aku mencari kekhasan. Aku mencari perbedaan. Aku mencari yang tak tertebak. Aku mencari yang tak terduga.

kepergian

Belajar menyukai suatu kepergian. Adakalanya hanya itu satu-satunya jalan. Membiarkan mereka melihat punggungku yang sesak dengan gelayut ransel tanpa menoleh, tak terkejar. Terkadang itu lebih baik dibandingkan mereka melihat diriku menjalin jemari agar kuat. Toh, melihat pun mereka akan mengira aku kedinginan, bukan?
Aku ingin berada di perbatasan. Merekam setiap persimpangan. Sayang, aku belum bertemu kamu. Mungkin jalan kita belum bersimpangan. Ataukah aku harus menghadiri suatu perjalanan lintas samudra untuk menemukan persimpangan itu? Ah, tapi kalau begitu kau sudah tidak lagi fana, bukan?

badai kelabu

embun, gerimis jadi badai saat hati yang marun mengelabu pasti

kupu-kupu di taman

mengenang taman kini, ada seekor kupu-kupu hitam-putih sedari tadi hilir mudik mengulur waktu menarik perhatianku

Cantik, kan?

bintang mengedip malu dibalik tirai awan. sementar pepohonan tak usai menggapai-gapai. -cantik 'kan?-

Prakata

"Ayang, lakukan yang kamu inginkan," kata mama. Sambil mengusap pipiku, sahabatku berkata, "Prim, jadi kekanak-kanakkan itu penting. Gw gak suka dengan lo yang dingin dan kaku kayak gini. Please, balikin Prima gw semasa SMP!" Sudahlah. Mungkin aku memang harus menghadapi hidup yang paralel begini. *** Darahku bergolak dan mendidih sampai di ujung-ujung jari. Eforia untuk esok begitu membakar. Sudah lama aku tidak melakukan apa yang aku inginkan. Dan semua kendali itu aku hapus.

Kamu

kunantikan seperti lak kasturi yang dijanjikan. kunantikan seperti Sidr mengisi relung-relung teduh. kunantikan seperti semua warna dan wangi yang tak terjamah. kunantikan seperti kata tentang pengampunan. -untuk Kamu, Sang Impresi Keindahan-

Iklim

Hujan yang meluluhkan... Angin yang menerbangkan.. Namun yang kucari bukanlah badai dan serinai tentang basah. Tapi yang aku cari adalah teduh. Ya, teduh. Teduh yang entah hilang kemana sepenggal musim. Pertanyaannya, bagaimana aku menemukan teduh di pertengahan Mei? Sementara pelajaran geografiku mengatakan sejenak lagi kembali kemarau. Kembali terik. Aku mencintai teduh seperti buku pribadiku. Kuceritakan segenap rahasia dengan menulis pada udara. Dan teduh? Teduh akan memelukku dan berkata, "Semua akan baik-baik saja." Iklim... Aku menunggu Oktober. Saat teduh datang setiap hari kepadaku. Memasung kehendak untuk berlari... begitu jauh...

Berceritalah

Gelap menyambangi kamarku kembali senja ini. Dan rindu yang disematkan di dagu, memaksamu mengangguk iya pada waktu. Teduh mengetuk di pintu langit. Aku tak bisa mengatakan apa-apa selain mempersilahkannya masuk. Teduh melihat semuanya. Diorama sayu di mata, atau juga lebam di rasa. Peraduan malam akan datang. Dan aku memalingkan wajah dari sosok-sosok yang berterabas dengan hujan. "Hanya kita berdua... Ceritakan semuanya..."

Hal yang Indah Tidak Akan Tercipta Tanpa Kontradiksi

Pagi berkabut dengan skema putih yang kabur. Dan rerumputan, segar cerah dipayungi embun-embun kesiangan. Sementara aku kesulitan bicara padamu. Bukan karena papilaku terbakar dan serak akibat flu. -Hal yang indah tidak akan tercipta tanpa kontradiksi-

Senja Berkesan

"Izinkan kami mendapatkan cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu..." "Jika ditanya mau atau tidak amanah, saya yakin jawabannya adalah tidak. Amanah mengantarkan kita hanya pada dua hal. Yang pertama, kita dimasukan surga Allah karena amanah kita. Yang kedua, kita berharap bahwa Allah tidak menghisab amanah-amanah yang tidak kita kerjakan dengan maksimal... Seperti dalam hadist Rasulullah saw bahwa setiap kita adalah pemimpin. Dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya..." "Akan tiba hari mulut dikunci. Kata tak ada lagi..." "Dakwah itu adalah cinta, Dek. Dan cinta akan meminta segalanya darimu..." -Senja yang berkesan dari untaian kata kalian-

Cinta Akan Meminta Segalanya

"Cinta akan meminta segalanya darimu..." Masya Allah... Tidak terbayangkan perjuangan Rasulullah dan para sahabat untuk mendapatkan cinta-Mu... Sedang aku dicoba dengan diberikan jalan terjal untuk mendapatkan sedikit cinta-Mu saja kesulitan... Ketika menjadi muslim tidak cukup... Ketika menjadi mukmin dituntut... Saat risiko besar di hadapan mata, akankah kau mengambilnya? Akankah kau mengatakan iya? -masih bertanya pada diri sendiri masalah diskusi tadi sore-

Katanya

Aku terlalu banyak mengikuti yang 'katanya' lebih baik untukku. Kata mereka, "Berpikirlah keseluruhan dahulu, Prim. Baru yang rumit." Padahal jelas aku tipikal induksi dalam berpikir. Tidak seperti kebanyakan orang yang deduksi. Alhasil, aku salah bertindak. Melupakan hal-hal rinci yang dikemudian hari aku sesali karena hal-hal itu menghancurkan yang aku lakukan. Padahal, implementasi 4 kuadran kegiatan dan skala prioritas sudah aku lakukan. Tapi aku lupa satu lagi, yaitu melihat dari hukum. Apakah haram, makruh, mubah, sunnah, atau halal? Kata beliau, "... Bagaimana kita tidak bangkrut? ... Sebanyak apa sih amalku sampe berani melakukan hal yang tidak berguna?" Buku tentang perilaku sahabat dan tabi'in ini sudah khatam aku baca. Tapi bisa-bisanya lupa dan tidak diimplementasikan. Padahal ini yang paling penting. Fatal! -diingatkan seseorang kemarin sore-

Refleksi

Jika ditanya kisah apa yang pasti membuatku menangis, jawabannya adalah kisah ketika Rasulullah wafat. Beliau masih menggemakan, "Ummati, ummati, ummati... (umatku, umatku, umatku)" dari mulut baginda yang mulai mendingin mencapai kerongkongan. Beliau bahkan menyatakan kesediaan untuk menanggung sakaratul maut umat ini. Pun sampai di Padang Mahsyar baginda masih begitu mengingat umat ini. Bersedih tatkala Malaikat Jibril mengusir umatnya yang lalai pada sunnah dari mereguk telaga Al-Kautsar. Padahal dengan air itu, dijamin takkan haus untuk selamanya. Setiap merepetisi kisah ini, aku merasa berkhianat. "Pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya..." Siap? -refleksi sore tadi-

Bukti Cinta

Ketika orang-orang pacaran diminta membuktikan cinta pada pasangannya, mereka melakukannya tanpa segan. Padahal jelas berdosa. Coba bandingkan. Ketika Allah meminta (baca : menyuruh) hamba-Nya, ciptaan-Nya yang setiap hari diberikan nikmat dari-Nya membuktikan cinta dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya untuk mendapati surga, pada enggan. Kok aneh, ya? Tanyakan, apa yang salah?

Sakinah Qolbiyah

"Sakinah Qobliyah" Sudah banyak orang yang kudengar tausiyahnya tentang ini dengan variasi redaksional. "Don't be panic!" "Santai..." "Tenangkan hatimu!" "Berbicaralah saat tidak ingin berbicara. Dan diamlah saat ingin berbicara." Namun hari ini, tausiyah itu begitu berbeda. Kaitannya tentang shirah Perang Hunain dan penyuplai utama kemenangan kaum muslimin di kancah peperangan. Semua yang bers umber dari keimanan yang dahsyat. Redaksionalnya yang teramat halus tiada menghakimi menelusup ruang-ruang hatiku. Tiba-tiba sublim. Tak kudengar tawa canda adik-adik tingkat di kiri-kananku. Bagaimana diriku? Masih sangat tidak tenang. Padahal aku harus mengejar ridha Allah yang jauh tertinggal dan baru kukejar serius 3 tahun ini. Bagaimana dakwahku? Hasil yang jauh dari baik. Baru mulai kurintis serius 2 tahun ini. Padahal belum tentu besok bisa mengejar lagi. Dengan ini menginginkan amalan terbaik? Astaghfirullah...

Su'ul Khatimah

Putih, pucat, dan kabur. Gelap. Wanita itu menawan dirinya sendiri. Sejenak dia ingin mengatakan sesuatu pada keluarga yang mengelilinginya. Tapi dia tidak lagi sanggup. Rasanya seperti dikuliti hidup-hidup sembari dibanting keras-keras. Sisanya hanyalah dingin yang merayap. Aku ingin berbicara! Tapi mulutku terkunci tiada rasa! Malaikat itu datang dengan wajah masam dan marah. Itu seburuk-buruk rupa yang hadir padaku. Nanti, kumohon. Biar kurampungkan kalimat tauhid dari mulutku. Biar kurimai kata perpisahan dari lisanku. Biar kufasihkan hapalanku. Biar kulancarkan bacaanku. Biar kuperbanyak shalatku. Tapi semua sudah terlambat. -membayangkan buruknya su'ul khatimah. masih mau cinta dunia?-

Semayam Jiwa

Perempuan itu, aku, dalam imajinasi perubahanku. Kau nyaris mustahil. Tapi bisakah kau wujud? Karena kini kau sudah mengetuk-ngetuk kesadaranku. Tidak, tidak. Aku tidak takut perubahan. Karena berubah atau tidak nyatanya aku tetap harus bertaruh. Berharap takdir berpihak padaku. -memandang cermin yang bersemayam di dalamnya jiwa berbeda-

Sejak Kapan Cinta Itu Bersemi

Gambar
Sejak Kapan Cinta Itu Bersemi Agak sedikit melankolis bagiku belakangan ini membicarakan cinta. Ah, cinta... Memang tiada habisnya. Namun, tentu saja cinta yang berbeda yang sering aku tawarkan dalam tulisan dan perkataanku sekarang. Kalau kalian alergi dengan cinta, sebaiknya urungkan niat saja untuk membaca catatan ini. ***

Tsiqoh Pada Allah

Sebagai seorang muslim -dan mukmin- yang memeluk agama Islam, seringkali kita mendapati kata tsiqoh. Apa itu tsiqoh? Tsiqoh artinya adalah percaya sepenuhnya pada keputusan yang diberikan. Ketika tsiqoh kita sandingkan dengan Dzat Yang Maha Mulia, tentunya ini menjadi hal yang tidak main-main. Mengapa? Karena hukum (syariat) yang berasal dari-Nya itu mutlak harus dikerjakan. Mari kita refleksikan tsiqoh pada Allah lewat shirah nabawiyah. Sudah bukan cerita asing lagi bahwa Nabi Musa membelah Laut Merah. Kalau kita cermati shirah yang ada, sesungguhnya ketika berlari dari tentara Firaun, Nabi Musa dan umat beliau dihadapkan pada dua persimpangan. Persimpangan yang satu menuju pegunungan. Dan yang satu menuju laut. Kemudian, turun wahyu Allah kepada Nabi Musa agar mengambil jalan ke arah laut. Padahal jika menggunakan akal sehat, berlari ke arah gunung akan memudahkan kaum Nabi Musa untuk bersembunyi. Namun, Nabi Musa tetap tsiqoh pada ketentuan Rabb-nya. Bala tentara Firau

Al-Kautsar (Sebuah Pengorbanan)

Gambar
Entah mengapa Surat Al-Kautsar kini menjadi salah satu surat dari Al-Qur'an yang sering kali aku baca di dalam shalatku. Mungkin kemarin -atau lusa- aku mulai merasakan suatu getaran lain dari surat ini. Terkhusus pada ayat kedua. "Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkorbanlah."

Phoenix

Gambar
Phoenix Terkenal seekor burung yang disebut Phoenix dalam epos terdahulu. Diceritakan bahwa Phoenix adalah seekor burung berwarna merah saga yang berbulu indah. Tepatnya ia terlahir dari sebuah telur kecil yang janggal. Berwarna pucat pualam dan begitu didih panas. Diperam di dalam sebuah  tanah vulkanik dekat dengan gunung berapi yang aktif. Phoenix, seekor burung yang setia. Kerap kali ia dijadikan sebagai peliharaan seorang penyihir yang bijaksana. Phoenix mematuhi semua perintah tuannya tanpa bantahan. Kelangkaan dan kesetiaannya itulah yang membuat para penyihir begitu bangga memiliki seekor Phoenix di dalam hidupnya. Phoenix juga begitu kuat. Badannya kecil proporsional. Sepintas tak ada yang berbeda dengannya. Namun, anggapan itu berubah tatkala ia diperintahkan untuk mengangkut beban berat yang beratus-ratus kali lipat dari ukuran tubuhnya. Ia tidak dapat bernyanyi demikian indah seperti burung lainnya. Tapi suaranya begitu lantang seakan menyuarakan kesalahan pada

Kematianku

Kematianku Aku bermimpi-mimpi kapan akhirnya aku tuliskan dalam wujud nyata. Dan akhirnya setelah sekian lama aku mengumpulkan waktu, kekuatan, dan kerangka utuhnya... Aku berhasil membuat ringkasan ini. Jika bertanya seperti apa aku ingin mati, ada baiknya melihat sedikit perbedaan keinginan yang dahulu dan sekarang aku miliki. Dahulu, sebelum mengenal tarbiyah, yang aku pikirkan tentang kematian adalah sebuah sosok putih terang nan kosong yang menyapu seluruh kenangan dan ingatan ketika ruh sudah terlepas dari raga. Terasa begitu plong alias lega. Bayanganku dahulu yang amat sangat pemurung dan tidak optimis menjalani hidup adalah aku akan mati dalam keadaan yang sangat sepi dan muram.