Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2013

Ia Bernama Doa

Perihal ia. Ia tidak pernah membusungkan dadanya di hadapan manusia. Ia hanya diam, mengamati. Kamu takkan tahu bilapun ia merapalmu. Membumbungkan namamu ke langit tertinggi. Ia diam. Mungkin kaubenci ia dalam tiap lisan, laku, dan lakar. Tapi ia tak pernah mau mengungkap apa-apa yang sebenarnya tersembunyi. Ia bernama doa. Dalam hitungannya mungkin ada namamu yang paling dicinta. Rapal tentang baik dan/atau buruk. Dalam syairnya mungkin ada namamu yang paling dibenci. Rapal tentang baik dan/atau buruk. Bagai belati, ia jatuh dari langit menghujam hatimu. Ia langsung dilambung di langit. 'Arsy menerimanya. Dan Yang Maha Kuasa membenarkannya. Maukah kusarankan agar kautak lagi menyepelekan ia? Dengannya, tetiba Yang Maha Kuasa menggerakan hati untuk menuju pengabulan. Ia selalu tersenyum. Ia tahu, ia bukan andalanmu saat kaulebih sibuk berterima kasih pada makhluk. Kaulebih sibuk membangga. Ia hanya tersenyum. Meskipun kauluput menyadari ia yang dikirim entah siapa dan di mana

Cinta Itu Butuh...

Cinta kepada Allah Cinta kepada rasul Cinta kepada agama Cinta itu butuh kepercayaan dan pengorbanan. Dengan kepercayaan yang membumbung tinggi, kita jadi yakin. Setelah yakin, kita siap menerima kebenaran meskipun tak masuk diakal. Karena kebenaran sangat tergantung pada apa-apa yang kita cintai. Masuk atau tidak masuk diakal, kita akan menerimanya. Dengan pengorbanan, kita mengikuti cara-cara yang disukai cinta kita. Dari cara yang paling kita ridhai sampai yang paling kita benci. Melepas segalanya hanya agar bersamanya. Cinta itu butuh takut dan harapan sekaligus padu. Dengan takut, kita was-was kehilangan, kita was-was dibenci, dan kita jadikan cinta itu parameter degupan hati. Melakukan yang diperintah agar tidak dijauhkan. Menyesuaikan dan memantaskan diri agar sesuai dengan yang kita cintai. Dengan harap, kita inginkan balasannya, kita inginkan perhatian, dan kita inginkan ampunan yang kita cintai. Ingin agar kita yang dipilih. Ingin agar kita yang diakui. Cinta butuh sabar

Perkataan yang Begitu Ikrar

Perempuan itu pernah datang penuh apa adanya. Membawa sebingkai hati. Dengan suatu cerita, semua pupus. Sebingkai hati tak cukup dikata. Maka dibalik gelap, perempuan itu mengatakan janji yang begitu ikrar. Ia jika dan hanya jika kembali dengan sebuah ukiran penaklukan berbentuk kekuatan. Tak perduli kolonialisme, imperialisme, dan merkantilisme yang dipasungnya sebagai penghinaan. Ia hanya tak tahu. Tetiba hilang arah dan tak yakin. Ikrar itu akankah ia penuhi? Tetiba pula datang bagian-bagian terdahulu meminta kembali. Haruskah? Haruskah ia kembali? Tak perlu kaupertanyakan tentang rindu. Ia rindu sekali. Sungguh, ia hanya minta satu. Ia hanya minta apa adanya cukup.

Ungkapan Perpisahan

Kita pasti sudah sering sekali mengungkapkan perpisahan. Kamu boleh memilih kata-kata yang paling manis hingga paling kasar. Kamu juga dapat pergi tanpa berkata-kata; menggantung semuanya. Tapi akuilah. Hal itu tidak membuatmu lebih baik menghadapi perpisahan. Betapa lucu. Kita begitu siap melayani manusia yang kita kenal lama dan begitu siap meladeni manusia yang kita baru temui, tapi kita begitu pengecut menghadapi perpisahan. Kita tak pernah terbiasa. Aku takkan bilang bahwa penyesalan tidak dan/atau harus ada dalam perpisahan. Tentu saja, hal ini tak dapat kauungkap pada mereka yang engkau pisahi. Mereka pasti mengataimu gila. Hanya saja, penyesalan akan menghabiskan banyak waktumu. Kamu akan banyak menyingkir. Sementara kurungan waktu tak jua mengendur untukmu. Lagipula, siapa kausampai berani membuat waktu berjalan tak adil? Sembunyikan ia: rasa sesalmu, dalam barisan ungkapan penyesalan. Cukup waktu-waktu sendiri yang kauhabiskan untuk belajar dari sesal. Kauaku sebagai masa

Penyusunan Diri

Orang-orang berjalan. Menyusuri trotoar yang dibangun berabad lalu. Tak perlu kautanya tentang letih. Lihatlah ia yang tetap tatih. Sementara orang-orang tetap berbaris rapi menjajari tegel-tegel kusamnya. Orang-orang menyusun kembali dirinya. Dari cokelat panas yang diseduh malam itu. Bahkan juga dari tetabuh rokok yang kembang kempis dari pernapasan. Ya, mereka menyusun kembali dirinya. Satu per satu, penuh presisi. Orang-orang berbangkit. Bagi pemercaya kebangkitan, bangun hanyalah bangkit yang kecil. Dan menyusun diri hanyalah bangkit yang atom. Kamu percaya berbangkit, eh? Kuharap kaupercaya. Jadi, aku tak perlu susah payah menjelaskan mukjizat. Orang-orang berceloteh. Merekam lamat-lamat barisan tubir pegunungan, lingsir lembah, bahkan sekadar warna rambut yang tetiba memerah. Terpias matahari tentunya. Bicara hal ini, aku sangat ingin bertanya padamu. Tatap aku, lekat. Jangan lepaskan. Tersusun dari apakah kebangkitan dirimu?

Bulan Baru

Apakah Rembulan marah kepadaku, Sayang? Aku tak mengindrainya sekarang, saat ini saat menghitungi Bima Sakti. Aku merindukannya. Apa dia marah padaku karena absenku sakit lusa lalu? Kenapa dia begitu jahat? Dia bahkan abai mencariku. Tak seperti kamu, Sayang, yang ada selalu di sampingku. Gemintang turut menghilang. Di langit tak ada cahaya. Cahaya-cahaya yang bagai turun satu satu. Aku rindu. Awan pun memberontak padaku. Menjalar dia menjadi kelopak-kelopak kapas yang menyembul. Angin malam yang kian membunuhku tiap waktu menjadi sepanas ini. Rembulan, maafkan aku. Aku hanya siang sejenak. Tak bisakah kauselalu ada? Aku benci jika semua melawanku seperti ini! Rasanya hanya begitu sepi. Tanpa cahaya. Dan bagai buta

Lelaki Cahaya Atau Lelaki Kegelapan

Apa saja yang memasungmu kala itu? Hentakanlah ia! Ia tak berhak atas dirimu. Seperti juga diriku yang tak lagi berhak atas dirimu. Ini lucu. Karena pada dasarnya, aku pun sama tak berhaknya dengan ia. Tapi egois ini tak pernah mengandaskan rantainya. Semakin kucoba melepas rantai pembelenggu itu semakin kuat aku terantai di tempat. Jadi kupilih hening dan hampa. Tak seperti apa saran yang kaukata. Ia hanyalah aku yang lain; dalam bentuk yang lain. Bersamaku kaulihat apa itu malam. Menyebutkan rasi bintang, nama-nama jagat raya, menyemilir angin malam, dan memaknai makna itu sendiri. Sementara bersamanya kauindrai apa itu pagi. Menyebutkan juta warna, melafalkan segarnya tampak pegunungan, wewangi bunga, dan getar embun. Mana yang lebih kausuka? Aku takkan memilih jika jadi kau. Dua-duanya terlalu indah dan melengkapi. Seperti kunang-kunang yang butuh cahayanya untuk menerangi telaga, sama sepeti cendrawasih yang butuh warnanya untuk memeriahkan cakrawala. Aku ingin melihat pagi ya

Puisi - Bernaung

Bernaung Kita bernaung di bawah langit yang sama; Mengunyah makanan yang sama; Berisyarat dengan cara yang sama. Tapi kita berada di tempat yang jauh berbeda. Strata dan kedudukanmu jauh melampauiku. Pengagummu menjatuhkan harga diriku. Tapi kita memilih makanan yang berbeda. Kamu memilih segarnya laut. Sedangkan aku memilih segarnya dedaun. Tapi kita memilih diksi yang berbeda. Kita memilih cara yang berbeda. Dan kita bahkan berbahasa berbeda. Kita bernaung dalam satu langit; dua cahaya; dan tiga keganjilan. Tiga keganjilan itu adalah: aku, kamu, dan kita. Bernaung dalam kehidupan yang sama, hanya tidak benar-benar sama. Bandar Lampung, 26-8-2013 Keep looking for...

Plagiarisme yang Dianggap Biasa

Plagiarisme. Ini jelas adalah musuh utama bagi para penulis. Plagiarisme juga adalah musuh utama bagi mereka yang tergila akan ilmu, menurutku. Sejarah tidak seberapa mencatat mana-mana yang plagiarisme yang terjadi. Bisa berupa pencatutan suatu hal, apa saja. Dua tahun belakangan, saya sangat aware dengan hal ini. Sebab, hati saya luka mengetahui hal-hal berupa ilmu yang kuyakini sebagai kebenaran teryata berdusta. Rasa sakitnya masih terasa hingga sekarang. Dalam suatu mata kuliah, dijelaskan secara luas betapa tinggi suatu paten di negara-negara berjuluk Dunia Pertama. Mereka terkenal kini sebagai pengayom paten yang komprehensif. Sayangnya, memang dalam perkuliahan yang dikupas sering hal-hal kontemporer yang dianalisis menggunakan teori-teori mahsyur. Dalam banyak kesempatan, secara otodidak saya mengumpulkan remah-remah sejarah yang dibayangi kabut tebal. Sejarah begitu kelabu rupanya. Penyimpangan banyak terjadi. Yang paling top adalah plagiarisme. Plagiarisme dari negara-neg

Hasrat Kita

Pada akhirnya semua begitu biasa. Begitu biasa seras kembali ke awal. Apakah memang kembali ke awal? Hanya Allah yang tahu. Semua adalah sejarah yang berulang. Masalahnya, sejarah manakah yang dipilih? Berhasilkah atau gagalkah? Aku terlalu sunyi. Mendengar dengan senyap. Melihat dalam sepi. Aku jelas takkan mengerti betapa ketukan jam di dinding memberangus kesabaranmu, dia, dan mereka. Kita menikmati dunia dengan cara yang berbeda. Memang tak tertahankan mengulum sesuatu yang kautak pernah dapati. Kita rakus, ya? Apakah pantas dibanggakan? Cukup kuat ditolak? Kita lagi-lagi mencibir. Mencicit dalam gelap. Mengalahkan tikus-tikus yang bersaing membagi jatah makanan. Kita tidak sedang makan, namun merebut. Hasrat ini dalam satu sisi : membunuh kita.

Kepingin Pake Banget

Hm, namanya juga manusia, ya? Pasti ada aja yang dipengenin. Kalo kamu tanya apa yang aku pengenin, ada salah banyak. Hahaha. Untuk saat ini kepengen banget ngenyahin yang namanya males. Nape? Well, selaen emang sifat buruk, pengen-pengenku yang laen gak bakalan bisa jalan kalo malesnya gak hilang. Kepengen si jago bahasa, kepengen si hafal Quran, dan kepengen si ini-itu. Tapi ada aja halangannya. Dan, ya, dalam beberapa sisi aku sebel sendiri jadinya. Setiap timbul pertanyaan 'why' alias 'kenapa' di kepalaku cepat-cepat aku tepis. Ngeri cuy kalo udah nanya-nanya gitu. Dalam hadits 'kan kita sebagai muslim dilarang mendongak ke atas, melihat yang lebih ahli selain masalah akhirat. Susah, sis. Serius. Soalnya kalo awal udah nanya gitu-gitu, aku pribadi besok-besok bakal ngebandingin diri sendiri sama orang lain yang beruntung dapet nikmat yang tidak ada padaku. Ujung-ujungnya gak bersyukur. Bahaya, 'kan? So, aku sering banget langsung pergi mengasingkan diri (

Saat Menulis

Aku sempat bertanya-tanya mengapa jadi menulis. Apa yang dari dulu pandai kutulis adalah rangkuman dari pelajaran-pelajaran sekolah yang rerata mendapat nilai tinggi alias "excellent". Hal ini berlanjut hingga kini aku kuliah. Hanya hal ini pula yang aku pegang dari dulu sampai sekarang yang tak pernah berubah. Awalnya, aku pikir aku menulis karena kini aku--dengan berlebihan walaupun tidak boleh dikatakan--tidak punya waktu. Tidak punya waktu untuk kegiatan-kegiatan fisik yang aku sukai. Sebelum kuliah, aku rajin sekali olahraga. Seminggu terhitung minimal lima jam. Sekarang? Aku tidak bisa. Dan kebanyakan aku lakukan berkaitan dengan kesenian. Aku tak tahu mengapa kesenian begitu mendarah daging pada diriku. Hingga suatu ketika terselip cerita tentang kakekku yang seniman naturalis, ayahku yang pemain band, dan juga ibuku yang adalah penulis puisi dan anggota paduan suara amatir. Semua jadi masuk akal. Sejak aku menjauh dari dunia seni dan mulai tenggelam dalam perkuliah

CEDERA

Ada yang membuat cukup cedera : Banyak orang berkata tanpa dalil. Dan ketika ada yang berkata menggunakan dalil sering dicemooh. Ada juga yang menggunakan dalil tidak sesuai tempatnya agar jadi pembenaran. Banyak yang menulis tapi tidak disertai footnote, daftar pustaka, dan tempat pengutipan. Seolah cerdas sekali. Tapi ternyata hal-hal itu dari orang lain. Bukankah ini bentuk plagiarisme? Benar-benar butuh jiwa bijak yang sulit buat mencernanya. Hmmm.

Setidaknya

Bagaimana kabar Anda hari ini? Sesuai tuntunan, semoga kita memuji Allah untuk segala nikmatnya. Ketika mulai tidak bersyukur yang menjurus pada kufur nikmat, kembali sesuai tuntunan, lihat yang lebih sulit dari kita. Sekalian lihat yang estrem. Contoh: Kejadian muslim Mesir, Suriah, Palestina, Paris, Cina, dan lainnya. Boleh juga, orang-orang cacat yang kekurangan organ tubuh dan orang-orang yang meminta di pinggir jalan. Darinya, muncul kata 'setidaknya'. Setidaknya kita aman di sini. Setidaknya jika tidak bisa menyumbang apa pun, kita menyelipkan doa. Setidaknya kita tidak gampang sekali tertawa dan lupa apa-apa yang terjadi pada diri orang lain. Rujukan paling tingginya adalah: Setidaknya keadaan kita lebih baik, alhamdulillaah. *remind for myself again.

CARA RASULULLAAH MEMBERI ILMU DAN MENASIHATI PARA SAHABAT

Bismillaah. Sebuah hadis tentang bagaimana cara Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wasallam memberi ilmu dan menasihati para sahabat : Abu Sa'id Al-Khudri radhiallaahu'anhum, dari Nabi shallallaahu 'alahi wasallam, beliau bersabda: "Allah berfirman pada Hari Kiamat, 'Wahai Adam, bangunlah dan bangkitkanlah pembangkit neraka." Adam berkata: "Aku penuhi seruan-Mu, kebahagiaan ada pada-Mu dan kebaikan ada di Tangan-Mu. Wahai Rabbi, apakah pembangkit neraka itu?" Allah menjawab: "Dari setiap seribu orang adalah sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang."Pada saat itulah anak-anak rambutnya mendadak beruban. Dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah sangat kerasnya." (Q.S. Al-Hajj : 2). Pengambaran ini dirasa berat bagi para sahabat, hingga rona muka mereka berubah. Mereka berkata: "Wahai Rasulullah, lalu siapakah yan

WHATEVER JUST GREY

Kalo egois mah, i (always) want to say WHATEVER. Whatever kata mereka begini dan begitu. Whatever. Nyatanya gimana? Nulis, nulis saja. Belajar, belajar saja. Begitu pun yang lain. Memang tidak bolehkah aku mengambil yang paling murni tanpa tercampur selubung seperti nilai, terkenal, uang, dan sebagainya? Am I wrong? Are you right? It just so grey. Deep grey, dude.

Mungkin yang Begitu Lancang

Aku suka cara kalian melengkapi kalimat-kalimat rumpang dengan diksi kalian yang semenggugah tabir malam dalam pandangan hatiku. Tapi kenapa justru hal-hal yang paling esensi kita tak sejalan? Ah, mungkin aku harus protes pada para guruku yang penuh kilau, namun meninggalkanku dalam kondisi kacau. Atau mungkin, ini bukan sebab apa-apa. Sebab, ini tak menghasilkan bentuk karena. Menelusup. Mungkin, ini yang dimintai pada jalanku. Mungkin. Aku terlalu lancang menebak.

Could I?

My brain still hot, Brother/Sisters. I do not understand what the things which make me want to read this blog with English. I know I am not a good student when must face any languages. Yaiks. Yes, again and again. My fault because I do not give my best attention yet. Fiuhh... In my worst day, I feel like writing never make me piss. Opposite it, it makes me feeling better. Hoho. Of course, I can not debate about useful of writing to psychological diseases. You know? It is about influence writing activity to stability of person whom have a problem with hyper-emotion. And I get the positive influence like the research said. Ehm, and absolutely, you can search it in internet. Haha. Perhaps, pressures which I am having now is a caused my madness to writing with English. I know my grammatical is very “impolite”. But, I do not care. And I just want to do not care. Could I?

Dum thing!

I just a weak ordinary human that have the lightside and the darkside, and make mistakes. I cannot be the perfect one because that who I am. But I try to fix it, okey? It does not matter to me if you like or dislike me. I deserve to get it. I almost do not know about my advantages. Haha. Perhaps, it is because so much disadvantages inside of me. Have I like it? Of course not. And I will say "Alhamdulillaah" which means "All praise to Allaah" because Allah still love me with giving me the revelation. Yes. The revelation which every human cannot get it easily. Deep inside--although it does not seem in the real world--I like perfection. That is why I seem nervous and get many wrong acts when I meet person whom I find look like fulfill with perfection. Oke, I know. Is it a dum thing, right? Haha. Just tell me what to do. Whether, actually, I know. But it so hard to do.