Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2014

Lintasan Pikiran #2

Sudahkah kita gunakan nikmat dari Allah dengan baik hari ini? __malam dalam sebuah epilog __tanggal tidak dicatat Generasi salafush shalih itu kalau terkena musibah langsung tahu dengan pasti dosa yang mana yang menyebabkan musibah itu. Saking mereka sensitif dengan dosa dan saking sedikit dosanya. Kalau sekarang, untuk sadar musibah datang akibat dosa saja—walaupun tidak tahu dosa yang mana saking banyaknya—sudah lumayan. Sebab, banyak yang dapat musibah justru menganggap diri tidak punya dosa. Wa’iyyadzubillah. __tanggal tidak dicatat Betapa menakutkan saat kamu mengetahui bahwa ilmu itu lebih dibutuhkan manusia dibandingkan makan dan minum. Akan tetapi, justru hari-harimu berlalu tanpa setitik tambahan ilmupun. Padahal setiap hari ilmu-ilmu baru bermunculan; buku-buku baru dicetak. Keselamatan akhirat atas petuah ilmu agama. Keselamatan dunia atas ilmu dunia. Wahai jiwa yang kerap terjaga dalam kelalaian! Waktumu terus berkurang. Setiap detiknya akan dipertan

Kenapa Takdir Baik Terjadi Pada Diri Kita

KAGETKAH dengan judul catatan yang aku buat ini? Tenang saja. Aku tidak akan mempertanyakan terlalu jauh soal hal ini. Pembuatan catatan ini terinspirasi dari buku yang ditakdirkan tiba-tiba aku pinjam di Perpustakaan Daerah (Perpusda) Lampung dan novel yang aku beli. Hingga catatan ini aku bubuhkan, buku dari Perpusda yang “dengan narsisnya” berlaku buat remaja telah selesai dikembalikan dan terhitung 150-an halaman lagi dari novel tersebut yang belum aku selesaikan dengan estimasi waktu membaca yang terlambat satu hari. Dan akan jadi dua hari jika mati listrik ini terus sampai tengah malam. Beberapa orang akan tidak setuju dengan kebiasaanku membaca novel ini. Never mind. Aku tidak larang kalau tidak setuju. Ternyata, secara unik, kedua buku yang aku baca ini berbicara kepada takdir. Mengenai kebahagiaan, mengenai persepsi, dan lain sebagainya. Mati listrik yang tiba-tiba justru merangkaikan semuanya menjadi satu dalam hikmah yang belum kuduga. Iya, ya. Semuanya menyoal takdir!

Aku Tidak Ingin Menunggu

“ Anti harus bersyukur ditakdirkan Allah jadi seorang perempuan. Ana yakin kalau anti ditakdirkan jadi seorang laki-laki, hari ini anti berenang di laut. Besok udah bisa ngedaki gunung.” “ Anti ini kayak robot, ya?” S eorang kawan yang baru kukenali melihat seperangkat aktivitasku sehari-hari dan ini tanggapannya. Aku merasa heran dengan tanggapannya. Sebab, aku merasa, hidupku ini tidak heboh. Tidak seheboh presiden yang harus membuat jutaan keputusan per hari. Tidak seheboh ulama yang membuat puluh bahkan ratusan fatwa per hari. Hidupku damai-damai saja. Memang terkadang aku berlebihan dengan panik. Biasalah, masih terbawa hasutan nafsu dan setan untuk tergesa-gesa. Tapi, overall , hidupku damai dan membahagiakan, sekarang ini, dan ketika perasaanku sedang sangat bagus. Apanya yang seperti robot? Itulah yang kupikirkan. Beberapa kali beliau menyatakan kepadaku, mendengarkan keinginan-keinginanku yang menurut beliau sangat perfeksionis akut nan ambis

Perupa dan Penyata

Jikalau ada yang tak bisa ditulisi oleh kalimat Kuyakini kauadalah salah satunya      Menunggu remang mulai mencekam      Di persimpangan waktu di musim kemarau      Tidak ada sisa Oktober ini selain      : beberapa kayu kering; terlihat lepuh      kemudian diguyur hujan katamu kita memunggungi satu sama lain katamu; itu adalah kata-kataku sayangnya, kamulah yang menjadikannya merupa —bukan lagi aku; sang penyata Bandarlampung, 28-10-2014 Prima Helaubudi

debu

aku berbisik; kemudian terbawa angin. menjadi debu yang menempel di cerminmu. kauseka kuat dengan kain, hingga mengkilat. Kulihat senyummu: rekah Bandarlampung, 2 September 2014 Prima Helaubudi di bawah sebuah kerai payung di suatu siang terik, namun teduh

Ruang Hening

Hujan deras pertama turun hari ini. Di balik jendela, aku merasa begitu kelelahan sedari tiga jam yang lalu; kemudian tertidur. Padahal aku telah membuat janji makan petis jambu bersama dengan kedua kawanku semasa SMA. Aku terkesiap dan menutup jendelaku yang mulai memasukkan dengan tidak sopan butiran hujan. Horden cokelat zaman dulu menutupnya dan membekapku pada keadaan yang penuh dengan suara rintik. Aku terdiam. Hape yang selalu kupasang dalam keadaan diam tanpa getar membuatku kaget ternyata sudah banyak panggilan tidak terjawab dan SMS yang masuk. Mau kujemput sekarang? Mumpung hujan reda. Itu bunyi SMS terakhir yang masuk. Aku, dengan egois mengabaikannya dan menikmati suara rintik hujan yang mulai menguasai panca indera. Hujan; siapa yang tidak suka? Kemampuan mencipta suasana penuh hening, romantisme, dan juga membasuh debu dengan aroma khas bumi. Kurasa tak ada yang tidak suka. Bagiku, hujan membawa ruang hening yang tidak pernah berkhianat. Membawa kekelaman ya

Fragmen #21

Aku takjub dengan orang yang mampu mengenalkan diri dengan sedemikian rupa dan terikat dengan sedemikian cepat. Akan tetapi, ketakjuban itu juga memiliki ketimpangan. Sungguh disayangkan sikap ini disandingkan dengan sikap menciptakan paragraf mengarang bebas ketika ditanya masalah derajat pengenalan. Padahal seyogyanya belum mengetahui secara mendalam. Alhasil, persepsi yang dihasilkan bias. Ini tidak bijak dan tidak bajik. *** Di antara benci, tidak suka, dan menganggu, hal ini menganggu--artinya, ini masih dapat ditoleransi. Beberapa di antara peraturan yang aku miliki adalah: hati-hati dengan mak comblang. Mak comblang bagus dalam derajat keseriusan. Tapi tidak dengan yang dimaksudkan tidak serius. Awalnya cuma gosip dan/atau perjodohan yang biasa saja. Lambat laun, ketika orang yang dicomblangi justru jatuh ke dalam jurang fitnah? Pastilah si mak comblang ini kabur. Pastilah si mak comblang ini kena andil soal kesalahan. Pikirkanlah hal ini sebelum menjajakan nama orang t

Pesona Hati yang Bening

Mendapatkan keterangan dari seorang ustadz tentang fenomena pro-kontra suatu kelompok di timur tengah yang sedang heboh. Dan beliau semakin meyakinkanku tentang hal itu. Kenapa? Sederhana. Karena beliau sudah pernah datang langsung ke sana. Lihat situasi dan juga paham beda aqidahnya. Pernah tanya sama orang yang--ternyata--punya link ke sana; sudah tahu. Tapi tetap saja beda rasanya kalau disampaikan langsung dari yang bersangkutan. Yap, bukan cuma hasil literasi internet ya ng membuat pusing kepala. Ternyata, di Oman dan di negara yang notabenenya negara Timur Tengah justru ada juga yang terjerat sama firqah sesat. Ahlus sunnah justru sedikit dan dibunuhi. Itulah, ya, aku jadi mengingat pernyataan seseorang--mungkin beliau justru lupa pernah berkata demikian kepadaku, "Tidak semua yang ada di Timur Tengah itu baik. Sebagaimana dari sana ada Rasulullah dan juga Abu Jahal." Krauk, krauk!! Itulah, ya, bahagianya orang berilmu itu. Ilmunya itu menyebabkan dia tajam men

#Cupis: Saling Terkoneksi

Mendapatkan apa yang kusebut sebagai "cuplikan kisah" menarik dari seorang akhwat: "Ukh, waktu ana stuck... Tapi ini tidak perlu ditiru, ya. Ana SMS kawan di Bogor minta dicarikan pondok pesantren. "Ukh, carikan ana pondok!" Yaudah dapet dan ke sana. Eh, pas masuk cadaran semua. Ana kaget. Beberapa hari di sana, ana gawenya tobaaat terus di masjid. Kebanyakan maksiat, satu ayat pun tidak masuk di otak. Sementara yang lain itu signifikan. Menghafal dan belajar dengan ceria. Semangatnya itu lho, masya Allah." "Ukh, kalo dilihat, seolah tidak ada koneksinya antara ana waktu itu ada masalah di rumah, stuck skripsi, dan berujung pada kabur ke pondok (pesantren) di Bogor. Tapi ternyata, setelah ana pulang dari sana, ruhnya masih berasa hingga tiga bulan. Ana bisa mengejar segala ketertinggalan di tengah masalah dan kesulitan fasilitas. Itu karena ketika ruhiah ditempa, dunia itu jadi mudah." "Ana setiap malas belajar, ingat banget seo

Benteng Es yang Menyimpan Bara

INI YANG KEDUA . Ini yang kedua kalinya aku menolak seseorang yang aku tidak ketahui siapa dia gerangan. Jujur, aku ini sedang dilanda ketakutan. Suatu ketakutan purba yang kuketahui sedari lalu sebagai bentuk trauma masa lalu. Tapi, Allah rupanya mengaruniaiku sebuah rahmat tak terkira. Sejenak membaca buku dari Ibnu Qayyim dan dalam hitungan menit, aku tidak lagi ketakutan akan pernikahan. Meskipun tetap traumaku sejujurnya tidak pernah—dan sepertinya—; tidak akan hilang. Aku dibesarkan dengan cara yang kasar sebagai seorang anak. Lama, lama sekali untukku menguasai diri dengan pernyataan, aku bertanggung jawab atas diriku sendiri. Aku bisa menjadi apa yang kumau, dan aku harus memilih. Aku tidak bisa diam. Aku ingin diriku berubah jadi lebih baik. Aku pun berubah menjadi sosok yang tiba-tiba berubah 180 derajat. Seorang anak pendiam, pemalu, nyaris tidak bisa bicara, dan dijadikan bahan ejekan. Lalu, berubah menjadi sosok penindas, pemarah, meledak-ledak, dan mengintimidasi. Ak

Potongan Absurd

Aku terheran di depan pintu dapurmu yang beralaskan semen-semen kasar awal tahun ’50-an. Kusandarkan sebagian kanan tubuhku dan kusilangkan ujung tumit kaki ini sebagai tanda ketidaksetujuan—sebagai pengganti tanganku yang sedang bersidekap di dada—. Kenapa kamu leraikan balok-balok ingatan itu menjadi dadu? Ini bukan dadu. Lalu? Ini adalah padu. Aku tak mengerti maksudmu. Seperti orang lain yang tak mengerti maksudku. Aku mendekatimu perlahan. Berat hati sandalku ini menggesek-gesek kasar tidak setuju. Aku terkejut. Bentuknya bukan dadu. Tapi sembarang. Tanpa takar dan tanpa datar. Wajahmu begitu serius hingga aku tak lagi dapat menemukan jiwa kekanak-kanakkan yang sering kutemukan. Matamu awas; menggelijang pandang dan mengejang. Aku hanya ingin membaginya. Menjadi apa? Keburukan dan kebaikan. Kenangan baik dan kenangan buruk. Pikiran dan hati. Jiwa dan raga. Laki-laki dan perempuan. Malam dan siang. Ke mana akan kausisihkan mereka? Akan kutentukan dan

Koloni Semut di Irisan-Irisan Tahu

Tanganku meraba-raba kasar permukaan tahu yang terlalu asin untuk ditelan. Aku menyingkirkan barisan semut berwarna perunggu yang telah datang dengan kesumatnya. Tahu itu milikku, milik adikku, dan milik ibuku. Enyahlah kalian! Kemurkaan yang tanggung-tanggung menangguhkanku untuk menyingkirkan semua semut itu sekaligus. Apakah aku egois dengan semua ini? Aku rasa tidak. Karena toh di ujung pintu sana tahu-tahu yang lain telah diletakkan. Menyingkirlah wahai koloni semut! (dan ternyata memang aku tak pandai mengakui bahwa kami memakan tahu yang sama) Bandarlampung, 31-12-2013 Prima Helaubudi

SAKIT TANPA LUKA

SAKIT. Tapi tidak ada luka. Dan begitulah akhirnya aku terbangun dari lantai kamar yang berwarna kusam. Semut-semut kecil mulai menggigiti dahiku yang sempit ini. Rasanya sama. Sama seperti saat kau menyakitiku. Tidak ada luka. Tapi menggigit, menggerogoti hati. Dengan kesal aku menggosokkan tanganku yang pucat bagaikan mayat ini ke atas badan-badan semut yang lembek itu. Nampaknya, dia tidak sendirian. Aku menggapai handphone -ku yang tergeletak lemas, diinfus oleh charger baterai. Aku tekan tombol mayanya sambil membalik posisinya. Oh, ternyata nggak satu-satu ini semut! Demikian ujarku dalam hati. Kutepakkan tangan kesana kemari dan tidak juga habis semut-semut itu. Aih, sudahlah! Segera aku memindahkan badan dengan malasnya ke ranjang double set milikku sedari kecil itu dengan menelungkupkan badan. Sebentar... sebentar... tapi bukan pulas yang aku dapatkan. Tapi sesak. Aku membalikkan badan dan melihat barak pengungsi ini... maksudku kamarku. Menunggu rasa