Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Kekupu Cahaya yang Menyinari Ruang Gelap di Suatu Siang

Kekupu bentuk formasi nyaris bersejajaran. Hanya mereka dan Tuhan yang paham benar bagaimana pola keteraturan itu. Sesekali mereka bertegur sapa. Sejenak mengenalkan diri sebelum membawa sayap-sayap cahaya mereka ke suatu tempat yang asing. Sayap-sayap yang mengantarkan sepucuk kebahagiaan dalam rongga tanah dan relung bumi. Siang membelahi cahaya dan bayangan. Semua benda terbiaskan cahaya. Kemudian terfragmen membentuk bayangan. Terkadang ia pepat dan memadat di dalam jiwa--nyaris lupa jalan keluar. Nyaris pula lupa waktu bernama: siang. Sisanya adalah alfa. Maka biarkan kekupu masuk dan biaskan warna cahayanya. Tak perlu terlihat; biarkan ia jadi lentera yang redup dan teduh dalam ketidakberdayaan. Lalu, terlupakan dalam gerakan bumi yang berotasi: menjadi (seolah) lalai. Tanpa gertak dan hardik. Mereka bergerak pasrah. Memindai ruang di suatu siang saat ruang tak kenal lagi apa itu cahaya. Bandarlampung, 7-8-2015; 23.10 Prima Helaubudi

Hidup Takaran Gram

Hidupku takaran gram. Tak ada berat yang terlalu berat. Semua ringan; seringan bulu yang berterbangan. Hidupku takaran gram yang begitu ringan. Penciptaan langit atasku adalah kilogram. Jalanan adalah kilometer. Sementara aku hanyalah butir pasir yang bertebar mengarungi jalanan sempit. Apakah jalanan itu sungguh sempit? Ataukah aku yang berpemikiran sempit. Entah berapa kuat pemikiran yang termaktub dalam otak beberapa gram ini. Takaran pun tidak bisa membias hitungan. Terlalu mudah dihitung. Terlalu sepele diperhitungkan. Aku adalah takaran gram yang sanggup menahan lelah ribuan kilo namun tak kuat melawan nafsu beberapa mili. Inilah aku: (manusia) dalam takaran gram. Bandarlampung, 7-8-2015 ; 23.08 Prima Helaubudi

fragmen #23

Balon udara berterbangan di atasku. Warna-warninya menghantar : segenggam keberanian bernama rantau. Tapi aku masih menekuri isi bumi. Menakarinya dengan sebenar-benarnya. Bandarlampung, 30-7-2015 ; 08.07 Prima Helaubudi

menyentuh malam tak bernyawa

Aku membawa beberapa figur boneka seram untuk menjadi otak pembunuhan liar dalam imajinasiku. Tapi tetap tak berpulang ngeri seperti kamu di sebuah kisah tersurat di malam tak bernyawa. Kita tak pernah melihat warna kelabu dalam spektrum warna yang sama. Menyentuh asa dalam diam bagaikan pungguk merindukan rembulan: di malam bulan baru. Malam bulan baru berbilang di bingkai kalender yang kian sayat. Sisanya hanyalah karat--tak berharga. Maka, sejenak kita tinggalkan tentang tua yang melarikan kisah-kisah dalam keterlupaan. Kita ingatkan tentang bagaimana di malam yang dahulu kita sentuh setiap malam; ada mimpi-mimpi yang kesumat--entah kapan akan rampung. Mungkin sisa usaha ada hidup dalam sebuah prosa mini. Bandarlampung, 30 Juli 2015 ; 12.37 Prima Helaubudi