Pada Suatu Titik
Masa sweet seventeen- ku sudah berakhir tujuh tahun yang lalu. Jikalau ada umur, tahun depan aku akan menapaki usia 25 tahun. Seperempat abad. Sebagai seorang yang sudah “tua” ini, tentu tidak ada waktu untuk galau lagi, ya? Apalagi aku sudah berkeluarga. Meskipun aku sendiri sudah dapat sertifikat seseorang bahwa aku adalah orang yang dewasa—yang dia labeli usiaku dengan 36 tahun. Pada titik ini, aku sudah sangat jarang merenung melihat masa lalu. Tapi sekalinya merenung, aku dicekam rasa sakit namun melegakan. Rasanya seperti menangis sesenggukan, kemudian ada semilir angin yang menerpa wajah. Mungkin ini analogi paling bagus yang bisa kubuat. Ada tebing yang curam, ada rasa sakit, ditinggalkan, rencana-rencana yang gagal, dan beragam onak lainnya yang mencengkram. Akupun sendiri heran dengan diriku. Kenapa aku memandang dengan demikian suram? Padahal di sana ada keceriaan lain. Entahlah. Mungkin karena kehidupanku “sedikit berbeda dari orang dengan batas normal wajar yang la